Saudaraku…
Berikut ini adalah renungan terhadap hakikat doa kepada Allah dan pikiran yang sewajarnya muncul menyertai panjatan doa setiap hamba kepadaNya. Selamat merenungkan.
Ketika berdoa kepada Allah, aku-lah si hamba yang amat butuh kepadaNya; sepatutnya aku merendahkan hati, lisan, dan gestur badanku saat mengutarakan permintaan kepadaNya. Aku mesti menunjukkan kehinaan diriku karena aku adalah hambaNya, bukan hamba selainNya.
Sebagai hamba yang lemah dan bergelimang kekurangan aku mesti mengakui mahakuasa Tuhanku dalam memudahkan segala keinginanku atau menepis mudarat yang mengintaiku ataupun mengangkat kesulitan hidupku; karena sejatinya hanya Dia-lah yang Maha Kuasa, Memiliki, dan Mengatur semesta raya beserta seluruh alur kehidupan di dalamnya.
Sebagai salah satu ciptaan Allah, aku pun mesti memahami dan menyadari sepenuhnya bahwa Tuhanku tidak menginginkan diriku merendah dan menghinakan diri kepada selainNya, siapapun dia karena hakikatnya sikap demikian tergolong bagian dari ubudiyah yang hanya dipersembahkan kepada Allah semata.
Imam Ahmad rahimahullah pernah berdoa: “Ya Allah, sebagaimana Engkau jaga wajahku agar tidak sujud kepada selainMu, maka jagalah pula wajahku agar tidak meminta kepada selainMu.”
Sebagai hamba Allah, aku mesti meyakini sepenuhnya tidak ada yang mampu mengangkat segala mudarat atau mewujudkan segala hajat untukku kecuali Allah. Maka, aku harus menuangkan implimentasi keyakinanku ini ke dalam untaian doa dan ibadah-ibadahku khusus kepadaNya; karena Dia menyukai hal tersebut dan memerintahkannya.
Dia-lah yang menciptakanku, mengucurkan banyak nikmat kepadaku, dan memilihkan takdir terbaik untuk segala urusan hidupku, pantaskah aku berpaling dariNya dan mengabaikan doa dan permintaan kepadaNya!?
Pantaskah aku mencari muka kepada selainNya sementara secara asal biasanya hamba mengutarakan hajatnya langsung kepada Tuhannya tanpa melalui perantara, tak peduli betapa banyak kekurangan si hamba.
Sebagai hamba Allah, aku menyadari bahwa Tuhanku sangat menyukai hamba yang banyak memelas, merengek, dan meminta kepadaNya. Tidaklah rugi sedikitpun jika aku mengutarakan seluruh hajat hidupku kepadaNya karena Dia begitu menyukai hal tersebut, bahkan memerintahkannya karena hal demikian itu mengindikasikan betapa butuh si hamba kepada Tuhannya.
Sebagai hamba Allah, aku meyakini sepenuhnya bahwa semua hajat dan keinginanku tidaklah mengurangi sedikitpun perbendaharaanNya. Dia-lah Maha Kaya lagi Pemurah yang sekiranya mengabulkan semua permintaan para makhlukNya di waktu bersamaan maka kepunyaanNya tidak akan berkurang sedikitpun.
Terakhir…
Aku pun kembali teringat betapa indah dan dalam kandungan ayat-ayat berikut:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ
Dan Tuhan-mu berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
وَإِن يَمۡسَسۡكَ ٱللَّهُ بِضُرّٖ فَلَا كَاشِفَ لَهُۥٓ إِلَّا هُوَۖ وَإِن يَمۡسَسۡكَ بِخَيۡرٖ فَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ
Jika Allah menimpakan kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.
مَّا يَفۡتَحِ ٱللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحۡمَةٖ فَلَا مُمۡسِكَ لَهَاۖ وَمَا يُمۡسِكۡ فَلَا مُرۡسِلَ لَهُۥ مِنۢ بَعۡدِهِۦۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya dan apa saja yang ditahan oleh Allah, maka tidak seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Sementara itu, tabiat manusia ketika dimintai tolong maka ia tidak menyukainya dan lebih cenderung menghindari orang yang sering meminta kepadanya.
Hal demikian itu lantaran ketidakmampuan dan kelemahan dirinya dalam memenuhi semua hajatnya, apalagi hajat orang lain. Sejatinya, sehebat apapun manusia, ia tidak pernah lepas dari kodratnya sebagai makhluk lemah yang bergantung kepada Penciptanya.
Seorang ulama, Wahb bin Munabbih rahimahullah mengingatkan seorang lelaki yang sering mendatangi para raja dan penguasa:
“Celaka kamu! Mengapa kamu rela mengejar orang yang seringkali menutup pintu rumahnya dan memperlihatkan kebutuhannya terhadap harta di hadapanmu serta tidak malu menyembunyikan hartanya ketika kamu memintanya? Sementara itu, Tuhan yang senantiasa membukakan pintu langit siang dan malam untukmu dan menunjukkan perbendaharaannya yang tak terbatas serta justru menawarimu agar meminta kepadaNya melalui perkataanNya: mintalah maka aku pasti kabulkan.”
Thawus rahimahullah berpesan kepada Atha’ rahimahullah:
“Janganlah mengutarakan hajatmu kepada orang yang menutup pintunya di depanmu serta menempatkan penjaga demi menghalangi peminta-minta. Utarakanlah hajatmu kepada Tuhan yang pintunya selalu terbuka lebar hingga hari kiamat, bahkan menyuruhmu agar meminta kepadaNya serta menjanjikanmu ijabah atas permintaanmu itu.”
Sumber literasi:
Buku Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam karya Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali (2/570-571)
0 Komentar