Jika kita dituntut untuk memperhatikan tutur kata kepada orang lain, baik itu orang tua, guru, atasan, dan seterusnya sebagai bentuk adab yang baik, tentunya menjaga perkataan yang menunjukkan adab kepada Allah Azza wa Jalla jauh lebih ditekankan dan diutamakan.
Apalagi kita sebagai mukmin yang mendambakan kecintaan Allah dan tempat di SurgaNya kelak, hal ini harus menjadi perhatian serius kita agar perkataan kita bukan bagian yang terlarang atau dimurkai oleh Allah.
Berikut ini lanjutan dari postingan sebelumnya dan ini bagian terakhir, yaitu 4 contoh ucapan yang kita mesti jauhi demi terjaganya kesempurnaan tauhid kita atau keutuhan pondasi tauhid kita.
Contoh: “Orang banyak dosa sepertimu tidak bakal masuk Surga.” atau “Mana mungkin Allah ampuni dosa-dosamu yang sudah terlanjur berat dan banyak begini.” dan ucapan semisal.
قال رجل: والله لا يغفر الله لفلان، فقال الله: من ذا الذي يتألى عليَّ أن لا أغفر لفلان؟ إني قد غفرت له، وأحبطت عملك". وفيحديث أبي هريرة: أن القائل رجل عابد، قال أبو هريرة: "تكلم بكلمة أوبقت دنياه وآخرته
“Seorang lelaki mengatakan kepada orang lain: "Demi Allah, Allah tidak mungkin mengampunimu." Lalu Allah malah berseru siapa tadi yang berusaha mendikte keputusanku bahwa aku tidak akan mengampuni dosa fulan!? Sungguh Aku telah berikan ampunan kepadanya dan justru menghanguskan pahalamu (karena kelancanganmu itu).” [HR Muslim no.2621]
Ucapan ini harus dihindari. Si pengucap biasanya merasa punya posisi istimewa di sisi Allah sehingga ada rasa sombong dan merendahkan pelaku maksiat lalu dengan lancang menetapkan keputusannya dan yakin putusan Allah akan sama dengan apa yang telah diucapkannya; yang demikian tidaklah pantas.
Contoh: “Sial, gara-gara cuaca buruk penerbanganku dibatalkan.”
Mencela makhluk Allah seperti hari, bulan, tahun, angin, laut, cuaca, dan lainnya yang tidak punya pilihan atas perbuatannya itu sama saja mencela Tuhan yang memerintahkan mereka; hal ini berseberangan dengan adab ahli tauhid kepada Allah.
Rasulullah ﷺ melarang ucapan demikian:
"لا تسبوا الدهر فإن الله هو الدهر"
“Janganlan kalian cela waktu karena Allah-lah (pemilik dan pengatur) waktu.” [HR. Muslim no.2246]
Di kesempatan lain, Nabi ﷺ berpesan: “Jangan menyalahkan angin! Jika kalian menjumpai apa yang tidak kalian sukai, maka ucapkanlah, "Ya Allah! Kami minta kepadaMu kebaikan angin ini, kebaikan yang terkandung di dalamnya dan kebaikan dari tujuan diperintahkannya angin tersebut. Kami berlindung kepadaMu dari keburukan angin ini, keburukan yang terkandung di dalamnya dan keburukan yang diperintahkannya angin tersebut. [HR. Tirmizi no.2252]
Ada analogi sederhana dari Imam Ibnu Qutaibah rahimahullah untuk pendekatan makna larangan ini, beliau berkata:
كأن رجلا يسمى «زيدا» أمر عبدا له يسمى «فتحا» أن يقتل رجلا فقتله، فسب الناس فتحا، ولعنوه. فقال لهم قائل: “لا تسبوافتحا، فإن زيدا هو فتح.” يريد أن زيدا هو القاتل، لأنه هو الذي أمره.
Seperti ada orang bernama Zaid menyuruh budaknya yang bernama Fathan untuk membunuh sesorang hingga terjadilah pembunuhan itu. Orang-orang lantas memaki dan melaknat Fathan. Lalu ada yang mengingatkan: “Janganlah Kalian maki Fathan karena Zaid-lah fathan (pembunuh) sebenarnya. Maksudnya Zaid-lah pelakunya karena dia yang perintahkan budaknya. [Lihat: Takwil Mukhtalaf Hadis hal.326]
Di masa lalu, budak diwajibkan tunduk kepada majikannya dan tidak punya pilihan untuk membantahnya, terlepas bentuk perintah atau baik-buruk aturan dari sang majikan.
Perlu diperhatikan dalam hal ini, jika sekedar menyampaikan kabar tanpa disertai kata makian atau celaan, hal yang demikian diperbolehkan. Contohnya: "Penerbanganku dibatalkan hari ini karena cuaca buruk." dan perkataan semakna dengannya.
Contoh: “Andai Aku membawa anakku lebih cepat ke rumah sakit mungkin ia tidak akan meninggal.” dan ucapan semakna.
Mengutarakan penyesalan dan kekecewaan atas suatu musibah dengan mengaitkannya dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa memberikan hasil berbeda yang lebih baik di masa lalu menurut pengucapnya, itu tidak dibenarkan; karena akan memicu sikap tidak terima terhadap takdir Allah dimana yang demikian adalah salah satu misi setan.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika suatu musibah menimpamu, jangan katakan, "kalau saja aku berbuat tentu sudah begini dan begini." Tetapi katakan qadarullah (takdir Allah) dan apa yang dikehendakiNya pasti terjadi. Sesungguhnya ungkapan 'kalau saja' (andai) membuka peluang untuk setan." [HR. Muslim no.2664]
Contohnya: “Harta ini hasil jerih payahku sendiri.” atau “Kesuksesanku karena kepandaianku.” dan ucapan semakna lainnya.
Memang kepintaran, relasi luas, dan kesungguhan adalah sebab tercapainya suatu pencapaian dalam hidup, namun jangan pernah mengesampingan peran Pemberi keberhasilan hidup kita sekaligus Pencipta sebab-sebab yang ada, yaitu Allah Ta'ala.
Jika Allah tidak menghendaki suatu sebab menjalankan fungsinya sebagai sebab niscaya tidak akan muncul hasilnya; karena hakikatnya ia hanya sebatas sebab dan keputusan akhir tetap di tangan Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَعۡرِفُونَ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ ثُمَّ يُنكِرُونَهَا وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” QS. An Nahl:83
Sebagian ulama memandang penyandaran suatu pencapaian kepada sebab boleh saja asal tidak ada rasa sombong dan memang sesuai dengan kenyataannya; bisa dikategorikan sebagai bentuk pemberitaan saja.
Tetapi menyandarkan suatu nikmat atau pencapaian kita kepada Allah selaku Pencipta sebab dan Pemberi musasabnya jauh lebih utama dan selaras bagi para pendamba ubudiyah yang hakiki. Biasakanlah untuk mengingat Allah kemudian menyukuri hasil bagus yang kita capai dengan mengucap "Alhamdulillah" atau "Ini karunia dari Allah" terlebih dahulu.
Demikian. Semoga bermanfaat.
Referensi:
Takwil Mukhtalaf Al Hadis karya Ibnu Qutaibah
At Tamhid karya Syekh Saleh Alu Syekh
Disusun oleh:
Syadam Husein Alkatiri waffaqahullah
Di Madinah, 03 Safar 1443 H
#alukatsir
0 Komentar