Kejujuran
adalah sebuah keniscayaan. Sifat mulia tersebut wajib dimiliki oleh setiap
orang, apalagi sebagai pribadi yang menyatakan beriman kepada Allah dan
RasulNya. Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk hal itu dalam sebuah ayat:
ياأيها الذين آمنوا اتقوا
الله وكونوا مع الصادقين
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar. [QS. At-Taubah: 119]
Imam Ibnu
Katsir rahimahullah mengomentari ayat diatas, beliau berkata:
أي: اصدُقوا والزموا الصدق
تكونوا مع أهله، وتنجوا من المهالك، ويجعل لكم فرجًا من أموركم ومخرجًا
Maksudnya,
jujurlah dan terus pegang kejujuran itu niscaya Kalian akan termasuk golongan orang-orang yang
jujur, selamat dari berbagai kebinasaan, dan (Allah) berikan jalan keluar dan
bantuan untuk urusan-urusan sulit kalian. [Tafsir Ibnu Katsir 4/230]
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang yang kita mesti percayai berita dan
kedepankan perintahnya dari siapapun, berpesan kepada umatnya dalam sebuah
hadis beliau:
عن عبد الله بن مسعود رضي
الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم، قال: إنَّ الصدق يهدي إلى البرِّ، وإنَّ
البرَّ يهدي إلى الجنة، وإنَّ الرجل ليصدق حتى يكون صِدِّيقًا، وإنَّ الكذب يهدي
إلى الفجور، وإنَّ الفجور يهدي إلى النار، وإنَّ الرجل ليكذب حتى يكتب عند الله
كذَّابًا
Dari
Abdullah bin Mas’ud radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
beliau bersabda: "Sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan,
dan kebaikan itu akan membimbing ke surga, sesungguhnya jika seseorang yang
senantiasa berlaku jujur maka ia akan
dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu akan
mengantarkan pada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu akan menggiring ke
neraka. Dan sesungguhnya jika seseorang yang selalu berdusta sehingga akan
dicatat baginya sebagai seorang pendusta." [HR. Bukhari (no. 6094) dan
Muslim (no. 2607)]
Baiklah.
Pembaca Alukatsir.com yang dirahmati Allah, di artikel kali ini saya akan
angkat bahasan seputar nilai sebuah kejujuran dan risiko pahitnya di mata
seorang sahabat. Salah seorang sahabat Nabi yang mulia, beliau memiliki
sejumlah keutamaan, bahkan hampir selalu ikut serta di berbagai peperangan kaum
muslimin.
Bagi kita,
generasi yang paling belakang beriman kepada Allah dan RasulNya saat ini,
menjadi orang yang melihat langsung Rasulullah, beriman di hadapannya, dan
membersamai beliau di era awal perjuangan dan penyebaran Islam, itu adalah
keutamaan yang tinggi dan tidak dapat kita gapai sekarang. Dan sahabat satu ini
adalah orang yang mempunyai itu semua. Maka, cukup dengan itu kita harusnya
sudah menaruh hormat dan cinta kepada para sahabat Nabi tercinta; apalagi jika
ditambah berbagai keutamaan lainnya seperti tingkat keimanan, ketakwaan, dan
ibadah mereka.
Allah Azza
wa Jalla menyebutkan keutamaan generasi pertama ini sekaligus mengingatkan
generasi-generasi setelah mereka akan keutamaan para pendahulu, para sahabat
radhiyallahu ‘anhum, dalam sebuah ayat yang artinya:
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. [QS. At-Taubah: 100]
Sahabat ini
bernama Ka’ab bin Malik. Beliau merupakan potret yang menginspirasi kita untuk
memegang erat kejujuran walau risiko berat sudah menanti dibaliknya. Beliau
menyadari risiko dari kejujuran namun tetap memilih untuk jujur. Disamping
betul-betul menghormati Rasulullah, beliau juga meyakini bahwa kesudahan akhir
dari kejujuran adalah kebaikan. Ujung dari jalan kejujuran yang beliau jalani
itu jauh lebih baik daripada berdusta yang hanya memberikan rasa aman sesaat.
Karena suatu
hal, beliau akhirnya tidak ikut serta dalam sebuah peperangan yang dipimpin
langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam. Apa kiranya alasan
beliau? Kapan beliau tidak ikut serta? Dan bagaimana sikap Rasulullah ketika
mengetahui sahabat ini tidak ikut perang? Untuk mendapat jawaban dari itu
semua, saya akan kutipkan jawabannya dari penuturan langsung sahabat yang mulia
ini melalui putra beliau yang dinukilkan dari generasi ke generasi; agar menjadi motivasi untuk
kita semua.
Abdullah bin
Ka'ab, salah seorang putra Ka'ab yang mendampingi Ka'ab ketika ia buta,
bertutur: Saya pernah mendengar Ka'ab bin Malik menceritakan peristiwa dirinya
ketika tertinggal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam perang
Tabuk.
Ka'ab bin
Malik radhiyallahu ‘anhu bercerita: Saya tidak pernah tertinggal menyertai
Rasulullah dalam peperangan yang beliau
ikuti kecuali perang Tabuk, akan tetapi saya juga pernah tertinggal dalam
perang Badar. Hanya saja beliau tidak pernah mencela seorang muslim yang tidak
turut dalam perang Badr. Yang demikian karena pada awalmulanya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dan kaum muslimin hanya ingin mencegat kaum kafir
Quraisy yang sedang berada dalam perjalanan dengan mengendarai unta hingga
Allah Ta’ala pertemukan kaum muslimin dengan musuh mereka tanpa waktu yang
disepakati sebelumnya.
Saat itu,
saya ikut serta bersama Rasulullah pada malam Aqabah ketika kami berjanji untuk
membela Islam. Menurut saya, turut serta dalam perang Badar tidak sebanding
dengan turut serta dalam malam Aqabah, meskipun perang Badar lebih populer di
mata kebanyakan orang.
Di antara
cerita ketika saya tidak turut serta bersama Rasulullah dalam perang Tabuk
adalah sebagai berikut:
Saya belum
pernah merasakan stamina yang betul-betul fit dan keluasan harta daripada saat
saya tidak ikut serta dalam perang Tabuk tersebut. Demi Allah, sebelumnya saya
tidak sanggup menyiapkan dua ekor hewan tunggangan sama sekali dalam pelbagai
peperangan. Tetapi dalam perang Tabuk ini, saya tiba-tiba bisa menyiapkan dua
ekor hewan tunggangan sekaligus.
Merupakan
tradisi beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau tidak pernah melakukan sebuah
peperangann selain beliau merahasiakan tujuan peperangannya, hingga saat
terjadilah perang tabuk ini, yang beliau nyatakan tujuan perangnya secara jelas
(terang-terangan).
Akhirnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi berangkat ke perang Tabuk pada
saat cuaca sangat panas. Dapat dikatakan bahwa beliau menempuh perjalanan yang
amat jauh dan penuh resiko serta menghadapi musuh yang berjumlah besar. Lalu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan kepada kaum muslimin apa
yang akan mereka hadapi bersamanya.
Oleh karena
itu, beliau memerintahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan perbekalan perang
yang cukup. Pada saat itu, kaum muslimin yang menyertai Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam banyak sekali tanpa ditunjuk melalui surat tugas untuk
berperang.
Ka'ab
kembali melanjutkan: Ada seorang laki-laki yang tidak muncul karena ia tidak ingin turut serta berperang. Ia menduga bahwa ketidakturutannya itu tidak akan
diketahui oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam -selama tidak ada wahyu
yang turun mengenai dirinya dari Allah Azza Wa Jalla -.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam pergi berperang ke perang tabuk ketika hasil panen
buah sangat memuaskan, hingga saya harus memalingkan perhatian dari hasil panen
tersebut. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum muslimin yang ikut
serta sudah bersiap-siap dan saya pun segera pergi untuk mencari perbekalan
bersama mereka.
Lalu saya
pulang tanpa memperoleh perbekalan sama sekali. Di benak saya, saya berpikir
dapat mempersiapkan perbekalan kapan saja. Saya selalu dalam teka-teki antara
iya (berangkat) dan tidak hingga orang-orang semakin siap. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam berangkat bersama kaum muslimin, sedangkan saya
belum mempersiapkan perbekalan sama sekali.
Akhirnya
saya pergi, lalu kembali pulang tanpa mempersiapkan sesuatu. Saya senantiasa
berada dalam kebimbangan seperti itu antara turut serta berperang ataupun
tidak, hingga pasukan kaum muslimin telah bergegas berangkat dan perang pun
berkecamuk sudah. Kemudian saya ingin menyusul ke medan pertempuran -tetapi hal
itu hanyalah angan-angan belaka- dan akhirnya saya ditakdirkan untuk tidak ikut
serta ke medan perang.
Setelah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi ke medan perang tabuk, mulailah
rasa sedih menyelimuti diri saya. Ketika keluar ke tengah-tengah masyarakat
sekitar. Saya menyadari bahwasanya tidak ada yang dapat saya temui kecuali
orang-orang yang dalam kemunafikan atau orang-orang yang lemah dan diberikan
uzur oleh Allah Azza Wa Jalla.
Sementara
itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengingat diri saya hingga
beliau sampai di Tabuk. Kemudian, ketika beliau sedang duduk-duduk di tengah
para sahabat, tiba-tiba beliau bertanya: “Mengapa Ka'ab bin Malik tidak ikut
serta bersama kita?”
Seorang
sahabat dari Bani Salimah menjawab, “Ya Rasulullah, sepertinya Ka'ab bin Malik
lebih mementingkan dirinya sendiri daripada perjuangan ini?”
Mendengar ucapan sahabat tersebut, Muadz bin Jabal angkat bicara: “buruk sekali ucapanmu itu! Demi Allah, wahai Rasulullah, saya percaya bahwa Ka'ab bin Malik itu adalah orang yang baik.”
Kemudian
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diam. Ketika beliau terdiam seperti
itu, tiba-tiba beliau melihat seorang laki-laki yang memakai helm besi yang
sulit dikenali. Lalu Beliau berkata: “Kamu pasti Abu Khaitsamah?” Ternyata
orang tersebut adalah memang benar-benar Abu Khaitsamah Al Anshari, sahabat
yang pernah menyedekahkan satu sha' kurma ketika ia dicacimaki oleh orang-orang
munafik.
Ka'ab bin
Malik bercerita kembali, ketika mendengar bahwasanya Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam telah bersiap-siap kembali dari perang Tabuk, saya pun
diliputi kegundahan. Lalu saya mulai merancang alasan dusta. Saya
sempat berkata dalam hati: "alasan apa yang dapat menyelamatkan diri saya dari
amarah Rasulullah?"
Untuk
menghadapi hal tersebut, saya meminta bantuan kepada keluarga yang dapat
memberikan saran. Ketika ada seseorang yang berkata kepada saya bahwasanya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hampir tiba di kota Madinah, hilanglah
alasan untuk berdusta dari benak saya.
Akhirnya
saya menyadari bahwa saya tidak dapat berbohong sedikit pun kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, saya pun harus berkata jujur
kepada beliau. Tak lama kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba
di kota Madinah.
Seperti
biasa, beliau langsung menuju Masjid - sebagaimana kebiasaan beliau manakala
tiba dari bepergian ke suatu daerah - untuk melakukan shalat. Setelah melakukan
shalat sunnah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam duduk-duduk
bersama para sahabat.
Setelah itu,
datanglah beberapa orang sahabat yang tidak sempat ikut serta bertempur bersama
kaum muslimin seraya menyampaikan berbagai alasan kepada beliau dengan
bersumpah. Diperkirakan mereka yang tidak turut serta bertempur itu sekitar
delapan puluh orang lebih. Ternyata Rasulullah menerima keterusterangan mereka
yang tidak ikut serta berperang, membai'at mereka, memohon ampun untuk mereka,
dan menyerahkan apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka kepada Allah.
Selang
beberapa saat kemudian, saya datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam. Setelah saya memberi salam, beliau tersenyum seperti senyuman orang
yang tengah marah. Kemudian beliau pun berkata: “Kemarilah!”
Lalu saya
mendekati beliau hingga saya duduk tepat di hadapan beliau. Setelah itu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: “Mengapa kamu tidak ikut
serta bertempur bersama kami hai Ka'ab? Bukankah kamu telah berjanji untuk
berkorban dan membela Islam?”
Saya
menjawab: “duhai Rasulullah, demi Allah, seandainya saya duduk di dekat orang
selain dirimu, niscaya saya yakin akan terbebaskan dari kemurkaannya karena
alasan dan argumentasi yang saya sampaikan. Tetapi, demi Allah, saya tahu jika
sekarang saya menyampaikan kepada engkau alasan yang penuh dusta hingga membuat
engkau tidak marah, tentunya Allah lah yang membuat engkau marah kepada saya.
Apabila saya mengemukakan kepada engkau ya Rasulullah alasan saya yang benar
dan jujur, lalu engkau akan memarahi saya dengan alasan tersebut, maka saya pun
akan menerimanya dengan lapang hati.
Biarkanlah
Allah memberi hukuman kepada saya dengan ucapan saya yang jujur tersebut. Demi
Allah, sesungguhya tidak ada uzur yang membuat saya tidak ikut serta berperang.
Demi Allah, saya tidak berdaya sama sekali kala itu meskipun saya mempunyai
peluang yang sangat longgar sekali untuk ikut berjuang bersama kaum muslimin.
Mendengar
pengakuan tulus itu, Rasulullah pun berkata: “Orang ini telah berkata jujur dan
benar. Oleh karena itu, berdirilah hingga Allah memberimu keputusan."
Akhirnya
saya pun berdiri dan beranjak dari sisi beliau. Tidak lama kemudian, ada
beberapa orang dari Bani Salimah beramai-ramai mengikuti saya seraya berkata:
“Hai Ka'ab, demi Allah, sebelumnya kami tidak mengetahui bahwa kamu telah
berbuat suatu kesalahan/dosa. Kamu benar-benar tidak mengemukakan alasan kepada
Rasulullah sebagaimana alasan yang dikemukakan para sahabat lain yang tidak
turut berperang. Sesungguhnya, cukup dengan istighfar Rasulullah untukmu
niscaya dosamu terampuni."
Demi Allah, mereka selalu mencerca saya hingga saya
ingin kembali lagi kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu saya
berucap dusta. “Apakah ada
orang lain yang telah menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seperti
diri saya ini?” tanya saya mencari tahu.
Orang-orang
Bani Salimah menjawab: “Ya. Ada dua orang lagi seperti dirimu. Kedua orang
tersebut mengatakan kepada Rasulullah seperti apa yang telah kamu utarakan dan
Rasulullah pun menjawabnya seperti jawaban kepadamu.”
Lalu saya
pun bertanya: “Siapakah gerangan kedua orang tersebut hai para sahabat?” Mereka, kaum Bani Salimah, menjawab: “Kedua
orang tersebut adalah Murarah bin Rabi'ah dan Hilal bin Ummayah Al Waqifi.”
Kemudian
mereka menyebutkan dua orang sahabat yang shalih yang ikut serta dalam perang
Badar dan keduanya layak dijadikan suri tauladan yang baik. Setelah itu, saya
pun berlalu ketika mereka menyebutkan dua orang tersebut kepada saya.
Beberapa
hari kemudian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kaum muslimin
untuk berbicara dengan kami bertiga yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk.
Sejak saat
itu, kaum muslimin mulai menjauhi dan berubah sikap terhadap kami bertiga
hingga bumi ini terasa asing bagi kami. Sepertinya, bumi ini bukanlah bumi yang
pernah saya huni sebelumnya dan hal itu berlangsung lima puluh malam lamanya.
Dua orang teman saya yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk itu kini bersimpuh sedih di rumahnya sambil menangis, sedangkan saya adalah seorang anak muda yang tangguh dan tegar. Saya tetap bersikap wajar dan menjalankan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Saya tetap keluar dari rumah, pergi ke masjid untuk menghadiri shalat jama'ah bersama kaum muslimin lainnya, dan berjalan-jalan di pasar meskipun tidak ada seorang pun yang sudi berbicara dengan saya.
Hingga pada
suatu ketika saya menghampiri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sambil
memberikan salam kepadanya ketika beliau berada di tempat duduknya usai shalat.
Saya bertanya dalam hati: “Apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akan
menggerakkan bibirnya untuk menjawab salam ataukah tidak?”
Kemudian
saya melaksanakan shalat di dekat Rasulullah sambil mencuri-curi pandang ke arah
beliau. Ketika saya telah bersiap untuk melaksanakan shalat, beliau memandang
kepada saya. Dan ketika saya menoleh kepadanya, beliaupun mengalihkan
pandangannya dari saya.
Setelah lama
terisolisir dari pergaulan kaum muslimin, saya pun pergi berjalan-jalan hingga
sampai di pagar kebun Abu Qatadah. Abu Qatadah adalah sepupu saya dan ia adalah
orang yang saya sukai.
Sesampainya
di sana, saya pun mengucapkan salam kepadanya. Tetapi, demi Allah, sama sekali
ia tidak menjawab salam saya. Akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya
kepadanya: “Hai Abu Qatadah, saya bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah
kamu tidak mengetahui bahwasanya saya sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya?”
Ternyata Abu
Qatadah hanya terdiam saja. Lalu saya ulangi lagi ucapan saya dengan bersumpah
seperti yang pertama kali. Namun ia tetap saja terdiam. Kemudian saya ulangi
ucapan saya dan ia pun menjawab: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui tentang hal ini.”
Mendengar
ucapannya itu, berlinanglah air mata saya dan saya pun kembali ke rumah sambil
menyusuri kebun tersebut. Ketika saya sedang berjalan-jalan di pasar Madinah,
ada seorang laki-laki dari negeri Syam yang berjualan makanan di kota Madinah
bertanya: “Siapakah yang dapat menunjukkan kepada saya di mana Ka'ab bin
Malik?”
Lalu
orang-orang pun menunjuk kepada saya hingga orang tersebut datang kepada
saya sambil menyerahkan sepucuk surat kepada saya dari raja Ghassan. Karena
saya dapat membaca dan menulis, maka saya pun memahami isi surat tersebut.
Ternyata isi
surat tersebut sebagai berikut: “Kami mendengar bahwasanya temanmu (maksudnya
adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) telah mengisolirmu dari
pergaulan umum, sementara Tuhanmu sendiri tidaklah menyia-nyiakanmu seperti
itu. Oleh karena itu, bergabunglah dengan kami, niscaya kami akan menolongmu.”
Selesai
membaca surat itu, saya pun berkata: “Sebenarnya surat ini juga merupakan
sebuah bencana bagi saya.' Lalu saya memasukkannya ke dalam pembakaran dan
membakarnya hingga musnah.”
Setelah
empat puluh hari lamanya dari pengucilan umum, ternyata wahyu Allah pun tidak
juga turun. Hingga pada suatu ketika, seorang utusan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam mendatangi saya sambil menyampaikan sebuah pesan: “Hai Ka'ab,
sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkanmu untuk
menghindari istrimu.”
“Apakah saya
harus menceraikan atau bagaimana?”, tanya saya memastikan.
Utusan
tersebut menjawab: “Tidak usah kamu ceraikan. Tetapi, cukuplah kamu
menghindarinya dan janganlah kamu mendekatinya.”
Lalu saya
katakan kepada istri saya: "Wahai isteriku, sebaiknya engkau pulang terlebih
dahulu ke rumah orang tuamu dan tinggallah bersama mereka hingga Allah
memberikan keputusan yang jelas dalam permasalahan ini.”
Tidak lama
kemudian istri Hilal bin Umayyah pergi mendatangi Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam sambil bertanya: “Ya Rasulullah, Hilal bin Umayyah itu sudah
lanjut usia dan lemah serta tidak mempunyai pembantu. Oleh karena itu,
izinkanlah saya merawatnya.”
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pun menjawab: “Jangan. Sebaiknya kamu tidak usah
menemaninya terlebih dahulu dan ia tidak boleh dekat denganmu untuk beberapa
saat.”
Isteri Hilal
tetap bersikeras dan berkata: “Demi Allah ya Rasullah, sekarang ia itu tidak
mempunyai semangat hidup lagi. Ia senantiasa menangis, sejak mendapatkan
permasalahan ini sampai sekarang.”
Ka'ab bin
Malik berkata: Beberapa orang dari keluarga saya sempat mengutarakan: “Sebaiknya kamu
meminta izin terlebih dahulu kepada Rasulullah dalam masalah istrimu ini.
Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri telah memberikan izin
kepada Hilal bin Umayyah untuk merawat suaminya.”
Menurut
saya, saya tidak akan meminta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam dalam persoalan istri saya ini. Karena, bagaimanapun, saya tidak akan
tahu bagaimana jawaban Rasulullah nanti jika saya meminta izin kepada beliau
sedangkan saya masih muda belia.
Ternyata hal
itu berlangsung selama sepuluh malam hingga dengan demikian lengkaplah sudah
lima puluh malam bagi kami terhitung sejak kaum muslimin dilarang untuk
berbicara kepada kami.
Lalu saya melaksanakan shalat fajar pada malam yang ke lima puluh di bagian belakang rumah. Ketika sedang duduk dalam shalat tersebut, diri saya diliputi penyesalan dan kesedihan. Sepertinya bumi yang luas ini terasa sempit bagi diri saya. Tiba-tiba saya mendengar seseorang berteriak dengan lantangnya dari arah perbukitan Shal'u: “Hai Ka'ab bin Malik, bergembiralah!”
Maka saya
pun tersungkur sujud dan mengetahui bahwa saya telah terbebas dari persoalan
pelik ini. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengumumkan kepada
kaum muslimin usai shalat Shubuh bahwa Allah memperkenankan taubat saya.
Orang-orang turut menyampaikan kegembiraan mereka kepada saya dan kedua sahabat
lain seketika itu.
Ada
seorang lelaki menunggang kuda tengah berlari ke arah saya dan adapula seorang
lelaki dari suku Aslam yang berjalan tergopoh-gopoh menuju sebuah bukit
kemudian memberitakan hal ini dengan suara yang lebih cepat daripada lari kuda
itu sendiri. Manakala orang tersebut sudah tiba di hadapan saya, ia langsung
menyampaikan berita baik tersebut. Saat itu pula saya ambilkan dua helai
pakaian dan saya hadiahkan kepadanya. Demi Allah, saya tidak punya pakaian lain
selain dua helai yang saya sudah hadiahkan tadi. Akhirnya saya pun meminjam dua
helai pakaian dan mengenakannya.
Saya
segera pergi menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Di jalan,
orang-orang menyalami saya sambil mengutarakan kegembiraan mereka atas
diterimanya taubat saya. Mereka berulang-ulang mengatakan: "Bergembiralah
atas anugerah taubat yang diterima oleh Allah."
Saya
akhirnya tiba di masjid dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tengah
duduk-duduk bersama banyak orang disitu. Tiba-tiba Thalhah bin Ubaidullah
sedikit berlari ke arah saya untuk menggenggam tangan saya dan mengucapkan kata
selamat. Demi Allah, tidak ada seorangpun dari kalangan Muhajirin yang
melakukan hal itu selain Thalhah; saya tidak akan lupa dengan (sikap) Thalhah
tersebut.
Setelah
saya mengucapkan salam kepada Rasulullah, Beliau menyambut dan berkata dengan
wajah yang berseri-seri: "Bergembiralah atas hari terindah yang kamu lalui
semenjak kamu dilahirkan ibumu."
"Apakah
kabar gembira ini berasal dari Anda wahai Rasulullah atau memang berasal
langsung dari Allah?" tanya saya memastikan kepada beliau.
Beliau
menjawab: "tidak, melainkan berasal langsung dari Allah."
Ketika
sedang senang, wajah Rasulullah akan terlihat bercahaya dan berseri-seri
laksana potongan rembulan dan kami sudah sering melihat hal seperti itu. Saya
duduk bersimpuh di hadapan Rasulullah dan mengutarakan bahwa sebagai bentuk
ketulusan taubat saya, seluruh harta milik saya akan dilepas sebagai sedekah
kepada Allah dan RasulNya.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam menanggapi dengan berucap: "simpanlah
sebagian hartamu karena itu jauh lebih baik bagimu."
Saya
kembali menyampaikan kepada beliau bahwa saya juga mempunyai bagian saham
Khaibar (yang disimpan). "Duhai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah
menyelamatkan saya dengan kejujuran dan sebagai bentuk taubat yang tulus saya
akan tetap menjaga kejujuran sampai akhir hayat saya." tutur saya kepada
Beliau saat itu.
Demi
Allah, tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang mendapat ujian kejujuran
dari Allah melebihi diri saya setelah mengucapkan hal tadi kepada Rasulullah.
Sungguh, saya tidak pernah lagi berniat untuk berkata dusta semenjak berikrar
di hadapan Beliau sampai hari ini. Saya berharap semoga Allah menjaga kejujuran
di diri saya sampai akhir nanti.
Allah
Azza wa Jalla telah menurunkan sebuah ayat kepada RasulNya yang artinya:
"Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang
muhajirin" "hingga ayat yang artinya: "dan hendaklah kamu
bersama orang-orang yang benar."
Demi
Allah, tidak ada nikmat Allah terbesar yang saya rasakan setelah masuk Islam
melebihi nikmat berupa tegar di atas kejujuran di hadapan Rasulullah dan tidak
sekalipun berdusta kepada beliau sehingga malah celaka kelak sebagaimana
orang-orang yang berdusta telah celaka. Allah telah menegaskan perihal mereka
yang berkata dusta ini dengan menurunkan wahyu dan itu adalah penyifatan yang
buruk untuk mereka. Allah Tabara wa Ta'ala menyampaikan hal ini dalam ayat yang
artinya: "Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila
kamu kembali kepada mereka" hingga ayat yang artinya: "sesungguhnya
Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu."
Ka'ab
melanjutkan, "Kami adalah tiga orang yang tidak ikut-ikutan bersama
orang-orang yang menyampaikan uzur dusta dan bersumpah sehingga Rasulullah
menerima dan membait kembali mereka serta memintakan ampun untuk mereka. Sedang
perkara (kami bertiga) ditangguhkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam sampai ketetapan Allah turun kepada Beliau. Oleh sebab itu, Allah
menyebut Kami: "dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan
taubat) mereka." Allah tidak menyebut Kami bertiga orang-orang yang tidak
ikut serta dalam perkara perang, melainkan berkaitan dengan penangguhan Allah atas
Kami dan dihindarkannya Kami dari mereka yang menyampaikan uzur palsu dan
sumpah sehingga langsung diterima (oleh Rasulullah saat itu). [HR. Bukhari (no.
4418) dan Muslim (no. 2767)
Demikianlah
penuturan panjang seorang sahabat mulia lagi jujur, Ka'ab bin Malik,
radhiyallahu 'anhu. Semoga hal ini menginspirasi saya dan pembaca Alukatsir.com
untuk terus menggenggam kejujuran dalam berucap dan berbuat sampai ajal
menghampiri nanti, Amin.
Semoga
bermanfaat…
Disusun
oleh hamba Allah yang selalu butuh taufiq dan ampunanNya:
Syadam
Husein Al Katiri
Di Kota
Nabi, 22 Jumadal Ula 1440 H
0 Komentar