Ketika membaca buku Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam berjudul Kitabul Iman beberapa hari lalu, saya mendapat banyak pengetahuan dan penjabaran yang sangat berguna bagi saya dalam mengurai benang kusut seputar definisi iman. Bagaimana tidak? Dalam memahami bahasan iman dan substansinya, sebagian kaum muslimin keliru disitu. Kekeliruan dalam hal ini berimbas terhadap kekeliruan-kekeliruan lain, seperti ketidakharusan beramal, penyetaraan iman pelaku dosa dengan iman ahli ibadah, vonis keliru terhadap pelaku dosa besar, dan lain sebagainya.
Kendati demikian, pembahasan iman ini adalah pembahasan yang tidak terlalu rumit jika kita memakai persepsi dan pemahaman Ahlu Sunnah wal Jama'ah dalam memaknainya. Para ulama Salaf sudah jauh-jauh hari mengangkat sekaligus menegaskan bahasan seputar iman. Hal ini bisa kita lihat dari sejumlah ucapan sahabat hingga buku-buku karangan generasi setelah generasi emas tersebut.
Diantara buku-buku tersebut adalah buku Abu Ubaid ini. Meskipun tidak terlalu tebal -sebagaimana metode & kebiasaan sebagian besar ulama mutaqaddimin dalam menulis buku-, namun buku beliau merupakan salah satu rujukan dan sarat akan faedah ilmiah. Disamping metode pemaparan yang istimewa, pengarang buku ini merupakan seorang imam besar di jamannya yang tidak diragukan lagi kedalaman ilmunya.
Pembaca Alukatsir.Com yang dirahmati Allah, saya akan paparkan sejumlah faedah bagus dari buku berharga peninggalan ulama Salaf pada artikel kali ini. Namun, sebelum itu saya akan sertakan biografi singkat penulis buku tersebut.
•••
SIAPAKAH ABU UBAID PENGARANG BUKU INI?
Beliau bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi Al-Azdi Al-Baghdadi, memiliki kunyah Abu Ubaid. Lahir di daerah Haratu pada tahun 157 H, belajar dan tumbuh besar di daerah itu. Beliau seorang ulama besar hadits, fiqh, dan adab. [Lihat: Al-A'lam karya Az-Zarkaliy (5/176)]
Haratu (هَرَاةُ) sendiri adalah sebuah kota besar nan ramai di Negeri Khurasan kala itu. Penduduknya biasa disebut dengan Al-Harawi, penisbatan terhadap daerah Haratu. Kota ini terus berkembang hingga pada tahun 607 H, ia dinobatkan sebagai kota termegah, terkaya, terbaik, dan terpadat, seantero Negeri Khurasan. Sebuah kota indah yang memiliki banyak taman dan pengairan yang bagus. Disebutkan bahwa banyak sekali ulama, orang baik, dan orang kaya, menetap disana. [Lihat: Mu'jamul Buldan karya Yaqut Al-Hamawi (5/396)]
Disebutkan bahwa ayah beliau adalah seorang budak rumy (berasal dari Ruum) yang dimiliki dan dibeli oleh salah satu penduduk Haratu. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Muhammad Al-Albani rahimahullah di dalam mukaddimah dari tahqiq beliau untuk Kitab Iman ini (hal. 3).
Setelah cukup lama tinggal di kota itu, Imam Al-Qasim bin Sallam rahimahullah memutuskan pindah ke Kota Baghdad karena ditunjuk sebagai Qadhi disana. Beliau menetap di Baghdad selama 18 tahun kemudian sempat pindah ke Mesir. Beliau kembali lagi ke kota Baghdad untuk menetap disana. Ketika melaksanan ibadah haji tahun 224 H, beliau menemui ajalnya dan dikebumikan di kota Makkah. [Lihat: Siyarul A'lam karya Dzahabi dan Al-A'lam karya Az-Zarkaliy (5/177)]
•••
SETINGGI APA TINGKAT KEILMUAN BELIAU?
Imam Abu Ubaid yang hidup di abad kedua Islam adalah orang yang diakui kelilmuannya oleh sejumlah ulama terkemuka jaman tersebut. Bayangkan saja! Beliau pernah menimba ilmu dari Imam sekaliber Sufyan bin 'Uyainah, Ismail bin 'Ulayyah, Yahya bin Said Al-Qatthan, Hammad bin Salamah, dan yang lain.
Sejumlah murid beliau pun merupakan para imam dan ulama Ahlu Sunnah terkemuka, seperti Imam Ad-Darimi, Abu Bakr Ibnu Abid Dun-ya, Ali Al-Baghawi, Muhammad Al-Marwazi, dan lainnya.
Ishaq bin Rahawaih rahimahullah, seorang ulama besar, mengakui sendiri keilmuan dan kefakihan Abu Ubaid, "Allah menyukai kebenaran, (faktanya) Abu Ubaid jauh lebih berilmu dan lebih fakih dariku", ungkap beliau. Di kesempatan lain, beliau menegaskan: "Kita butuh terhadap Abu Ubaid sedangkan dia tidak butuh kepada kita".
Bahkan ulama sekaliber Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah juga turut berkomentar tentang penulis buku ini, "Abu Ubaid adalah seorang ustadz (yang tidak diragukan keilmuannya, Pent). Setiap hari, pundi-pundi kebaikannya semakin bertambah", tutur beliau.
[Lihat: Mukaddimah dari Tahqiq Syaikh Albani di Kitab Iman Abu Ubaid (hal. 3-4)]
•••
SEBAGUS APA KARANGAN-KARANGAN BELIAU?
Dalam hal ini, mari kita simak sejumlah pujian yang Imam Dzahabi rahimahullah sematkan kepada Abu Ubaid sebagai bentuk sanjungannya kepada beliau:
"Siapa saja yang pernah baca buku-buku Abu Ubaid niscaya dia akan dapati sejauh mana kehebatan hafalan dan ilmunya. Disamping hafal banyak hadits dan menguasai illalnya, Dia juga menguasai ilmu fikih dan ikhtilaf yang ada di dalamnya. Dia layak disebut ra'san (julukan bagi seseorang yang telah sampai ke puncak suatu ilmu, Pent) di dalam ilmu bahasa dan seorang imam dalam ilmu qira'at".
Begitu pula halnya Al-Khatib Al-Baghdadi, beliau menjelaskan sejumlah pujian terhadap Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam ini.
[Lihat: Mukaddimah dari Tahqiq Albani di Kitab Iman Abu Ubaid (hal. 4)]
•••
Baiklah, Pembaca Alukatsir.Com yang dimuliakan Allah, itu tadi biografi Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam rahimahullah, penulis kitab iman yang berjudul: Al- Iman wa Ma'alimuh wa Sunanuh wa Istikmaluh wa Darajatuh. Dan setelah kita mengetahui dan mengenal siapa penulis buku spesial ini, saya akan tuliskan sejumlah faedah bagus dari buku beliau tersebut, yaitu sebagai berikut:
# Pengertian Iman:
Imam Abu Ubaid rahimahullah menerangkan di buku beliau bahwa dalam mendefinisikan iman, kaum muslimin awalnya terbagi jadi dua:
- Ada yang mendefinisikan iman sebagai bentuk keikhlasan di hati, pengucapan syahadat di lisan, dan amal perbuatan dengan anggota badan.
- Ada pula yang mendefinisikannya dengan definisi sedikit berbeda, iman hanya pada apa yang terdapat di dalam hati dan lisan saja. Adapun amal perbuatan bukan bagian dari iman, walaupun ia adalah bentuk ketakwaan dan kebaikan.
Beliau menguatkan pendapat pertama, iman adalah keyakinan hati, ucapan lisan, dan perbuatan badan. Itulah yang disepakati hampir sebagian besar ulama ahli sunnah dari dahulu hingga sekarang. Adapun pendapat kedua, orang yang berpendapat seperti ini memandang amal perbuatan tidak termasuk dari rangkaian iman namun dia tetap memandang amal perbuatan tetap perlu dikerjakan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Jalla wa Ála.
Sebagian orang yang memandang pendapat kedua itu dikenal dengan sebutan Mur'jiatul Fuqaha. Di lembaran-lembaran selanjutnya, Imam Abu Ubaid mulai menerangkan letak kekeliruan pendapat yang tidak memasukkan amal perbuatan sebagai bagian dari iman sekaligus sanggahan beliau yang disertai dalil-dalil syar'I dan bukti-bukti kuat atas pendapat kedua setelah menguatkan pendapat pertama.
# Awal Kekeliruan:
Bagi pemilih pendapat kedua, iman itu sekedar apa yang ada di hati seperti pengakuan dan keyakinan, sedangkan amal perbuatan badan tidak termasuk ke dalam hal itu. Oleh sebab itu, ia tidak dikategorikan sebagai bagian inti dari iman.
Persepsi seperti ini jelas sebuah kekeliruan, bahkan kesalahan fatal karena dapat berimbas kepada anggapan bahwa iman dengan hati dan ucapan lisan saja sudah cukup. Dan ini dapat disalahartikan oleh sebagian orang. Meskipun mereka -ulama- yang awal mula mengemukakan pendapat kedua ini tetap memandang amalan sebagai kelaziman, namun para pengikut yang bisa jadi kurang memahami maksud para pendahulu malah menganggap remeh amalan perbuatan itu sendiri atau bahkan tidak menganggap amal perbuatan seperti shalat fardhu wajib.
Dalih pemilih pendapat kedua ini, ada sejumlah ayat Al-Qur'an yang memberikan label 'Mukminin' terhadap orang-orang yang baru mengucapkan dua syahadat dan pengakuannya terhadap apa yang datang dari Allah melalui RasulNya. Mereka disebut mukminin padahal mereka belum beramal dengan amalan lain seperti shalat, puasa, dan lain sebagainya.
Maka menurut mereka, bisa diambil kesimpulan bahwa mukminin (orang-orang yang beriman) disini adalah mereka yang telah mengikrarkan dua syahadat di lisan dan mengakuinya di hati. Sampai ke tahap ini, orang sudah disebut beriman padahal belum beramal sama sekali. Jadi, iman itu hanya mencakup hati dan lisan saja.
# Sanggahan Atas Kekeliruan Diatas:
Pertama, kita wajib merujuk kepada Kitabullah dan Sunah Rasulullah di setiap permasalahan agama. Jika pemahaman kita berbeda atau tidak bertemu di titik yang sama dalam memaknai ayat Al-Qur'an atau pun hadits Nabi tadi maka kita wajib bersama-sama mengembalikan tafsiran ayat dan penjelasan hadits tersebut kepada pemahaman generasi yang paling paham maksud dan tujuan risalah Nabi kita, yaitu para sahabat radhiyallahu 'anhum.
Kedua, perlu diketahui bahwa iman yang identik dengan pelafalan dua syahadat dengan disertai ikrar pengakuannya di hati itu memang betul, tetapi keidentikan hal tersebut terjadi semasa awal-awal Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam diutus sebagai Utusan Allah di Makkah. Kala itu, beliau memang hanya menyeru orang-orang agar melafalkan dua kalimat syahadat sedang kewajiban-kewajiban lain belumlah turun selama lebih dari 10 tahun menetap di kota Makkah.
Siapa saja yang mau memenuhi seruan Rasulullah waktu itu maka dia sudah dikategorikan sebagai orang mukmin, walau hanya mengerjakan satu kewajiban saja semasa itu, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat di lisan dan mengakui maknanya di hati sebagai bentuk ketaatan fardhu satu-satunya kepada Allah dan RasulNya.
Namun setelah 10 bulan di kota Madinah, Allah Jalla wa 'Ala menambahkan hal-hal lain sebagai bagian dari keimanan. Allah memerintahkan kaum mukminin berbagai perintah dengan mengawali dengan panggilan iman, "Hai Orang-orang yang beriman" seperti ayat-ayat berikut:
يأيها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم...
"Hai Orang-orang yang beriman, jika kalian hendak mendirikan shalat maka basuhlah wajah-wajah kalian…". [QS. Al-Maidah: 6]
Begitu pula larangan-laranganNya, Allah memulai dengan panggilan yang sama kepada umat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kala itu:
يأيها الذين آمنوا لا تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة، واتقوا الله لعلكم تفلحون
"Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda. Bertakwalah kepada Allah agar kalian mendapat keberuntungan". [QS. Ali Imran: 130]
Disini Allah Jalla wa 'Ala mengkategorikan perintah-perintahNya yang harus dilaksakan sebagai bagian dari iman. Demikian halnya larangan-laranganNya yang harus dijauhi. Dan sebagai contoh nyata, Allah menjadikan shalat bagian dari keimanan. Ketika perintah mengalihkan arah kiblat yang semula ke Baitul Maqdis menjadi ke arah Ka'bah, Rasulullah sempat ditanya mengenai orang-orang yang pernah shalat ke kiblat awal dan sudah meninggal dunia, maka turunlah ayat berikut:
وما كان الله ليضيع إيمانكم
"Allah tidak sedikitpun menyia-nyiakan iman kalian". [QS. Al-Baqarah: 143]
Shalat orang yang menghadap Baitul Maqdis dan meninggal sebelum perintah mengubah arah kiblat, Allah menamai dan menyebutnya dengan sebutan iman. Ini jelas menunjukkan bahwa iman tidak hanya sekedar isi hati dan ucapan lisan, melainkan mulai bertambah seiring dengan bertambahnya kewajiban-kewajiban syariat Islam waktu itu.
Setiap kali suatu perintah turun, setiap itu pula syariat bertambah atas kaum beriman kala itu. Kewajiban melaksanakannya sama persis dengan kewajiban melaksanakan perintah sebelumnya. Misalnya, perintah shalat lima waktu turun, kewajiban untuk melaksanakannya tidaklah berbeda dengan kewajiban melaksanakan perintah yang turun sebelumnya seperti mengucap dua syahadat. Apabila syahadat dikategorikan sebagai bagian keimanan, maka shalat pun juga sama, ia bagian dari keimanan karena iman itu sendiri mencakup keyakinan hati, ucapan lisan, dan perbuatan.
Seandainya orang-orang yang mengucap kalimat syahadat tadi dan sudah diberi nama mukminin, mereka mengingkari kewajiban shalat maka secara otomatis pengingkaran tersebut merusak pengakuan hati mereka atas kalimat syahadat yang telah diikrarkan sebelumnya. Karena sejatinya, setiap perintah dari Allah membuat orang yang mengerjakannya berhak menyandang gelar mukmin atas kepatuhannya tersebut, terlepas dari apakah dia sebagai mukmin yang imannya sempurna atau tidak. Hal itu sesuai dengan kadar amalan yang dia kerjakan, semakin banyak amalannya semakin lengkap keimanannya dan begitu sebaliknya. Dan iman tidak hanya sebatas pengakuan di hati ataupun ucapan lisan belaka.
Ketiga, status orang-orang sebagai mukminin berkaitan erat dengan sejauh mana sikap penerimaan mereka terhadap apa yang Allah turunkan terhadap mereka melalui RasulNya. Allah Jalla wa 'Ala menurunkan perintah demi perintah tidak sekaligus, tetapi bertahap seperti Al-Qur'an turun, sedikit demi sedikit. Semakin banyak perintah yang turun dan mereka kerjakan, semakin bertambah besar pula gelar yang mereka sandang sebagai orang beriman.
Imam Abu Ubaid bin Sallam rahimahullah membawakan sejumlah dalil yang menunjukkan bahwa iman akan semakin besar dan bertambah seiring ketaatan terhadap suatu perintah yang dipatuhi.
وإذا ما أنزلت سورة فمنهم من يقول أيكم زادته هذه إيمانا، فأما الذين ءامنوا فزادتهم إيمانا وهم يستبشرون
Apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. [QR. At-Taubah: 124]
Dalil lain yang menerangkan apa yang Imam Abu Ubaid kemukakan mengenai iman yang bertambah dengan menambah amalan, bukan hanya keyakinan, adalah firman Allah berikut:
إنما المؤمنون الذين إذا ذكر الله وجلت قلوبهم وإذا تليت عليهم آياته زادتهم إيمانا وعلى ربهم يتوكلون
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. [QS. Al-Anfal: 2]
Jika keimanan sesesorang dapat sempurna dan lengkap hanya dengan ikrar pengakuan di hati, penyebutan iman yang bertambah di ayat-ayat barusan tidak akan ada gunanya sama sekali. Karena iman seseorang itu mencapai level sempurna ketika ia berucap kalimat syahadat dan mengakuinya di hati.
Keempat, selain hal-hal yang disebutkan diatas, ada sejumlah keterangan dari hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengenai amalan-amalan yang tergolong bagian dari iman, seperti ''Menyingkirkan gangguan dari jalan'', ''Sifat malu dari iman'', ''Tiga perkara yang termasuk iman: memberi tatkala tidak punya uang atau punya sedikit'', dan hadits-hadits lainnya.
•••
Pembaca Alukatsir.Com yang dirahmati Allah, apa yang saya susun ini hanya sedikit dari sekian banyak faedah yang terkandung di dalam buku Iman Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam. Dari penjelasan beliau diatas, kita bisa menarik sejumlah kesimpulan, diantaranya:
- Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam adalah seorang ulama terdahulu yang tidak diragukan lagi keluasan ilmu dan kedalaman fikihnya. Beliau salah satu ulama Ahli Sunnah dan memiliki beberapa buku karangan yang bermanfaat.
- Iman adalah keyakinan, ucapan, dan amalan. Ketiga unsur ini tidak dapat dipisahkan karena berkaitan erat satu dengan lainnya.
- Di awal-awal masa kenabian, satu-satunya cabang inti dari iman yang diperintahkan Allah adalah mengucap dua kalimat syahadat. Sangat wajar jika seseorang ketika melaksanakannya sudah disebut mukmin karena kewajiban-kewajiban lain belum turun. Karenanya, kita tidak boleh berasumsi bahwa iman itu cukup dengan ucapan atau keyakinan hati saja tanpa menyertakan amalan di dalamnya; kewajiban-kewajiban selain syahadat sudah turun dan sempurna sepeninggal Rasul sehingga kita juga harus menunaikannya sebagai bagian dari iman kita.
- Lantaran beramal bagian dari definisi iman, maka semakin banyak beramal akan semakin menambah kadar keimanan seseorang. Karena iman itu dapat bertambah dan dapat pula berkurang.
Demikian artikel Alukatsir.Com kali ini. Mudah-mudahan bermanfaat dan menambah waswasan kita seputar agama Islam. Dan semoga saya bisa melanjutkan kembali untuk mengupas lebih dalam mutiara-mutiara faedah buku ini di kesempatan mendatang. Amin.
•••
Kota Nabi, 3 Rabi'ul Awwal 1439 H
Disusun oleh: Syadam Husein Al-Katiri
0 Komentar