Dalam pergaulan
sehari-hari, kita kadang mendapati orang yang berusaha untuk tawadhu
(rendah hati) di hadapan kita melalui ucapan-ucapan yang keluar dari mulutnya.
Kadang pula, kita
melihat orang yang berusaha menampakkan ketawadhuannya melalui penampilan,
busana, dan gaya berjalannya.
Ini bagus, apalagi
dibarengi dengan niat tawadhu yang murni ditujukan untuk Allah Azza
wa Jalla.
Akan tetapi, ada jenis tawadhu
yang jauh lebih bagus dari itu semua. Tawadhu tingkat tinggi, yang mana
tidak semua orang mampu melakukannya.
Mari kita renungi
bersama untaian mutiara yang keluar dari mulut seorang ulama jaman dulu.
Seorang yang 'alim. Simaklah bagaimana beliau mendefinisikan arti tawadhu yang
sesungguhnya.
Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah, itu lah nama ulama yang mulia ini. Suatu hari, beliau ditanya tentang tawadhu. Beliau pun menjelaskan:
Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah, itu lah nama ulama yang mulia ini. Suatu hari, beliau ditanya tentang tawadhu. Beliau pun menjelaskan:
يخضع للحقّ، وينقاد له ويقبله ممّن قاله، ولو سمعه من صبيّ قبله، ولو
سمعه من أجهل النّاس قبله.
"Anda mengikuti dan menerima
kebenaran dari siapa pun yang menyampaikannya. Bahkan dari anak kecil atau
orang yang paling bodoh sekali pun, Anda tetap menerimanya".
[Madarijus Salikin karya Ibnul Qayyim
(2/ 342)]
Kebenaran, itu kata
kunci dari petuah beliau tadi ketika ditanya tentang makna tawadhu yang
sebenarnya.
Jika kebenaran
menghampiri kita maka sebagai bentuk tawadhu, kita harus lapang dada
menerimanya. Meskipun yang menyampaikannya adalah anak kecil atau anak kemaren
sore, tanpa melihat titel, gelar, umur, dan garis keturunannya sekalipun.
Selama itu sebuah
kebenaran maka kita harus menerimanya. Itulah yang dinamakan tawadhu.
Bukan sekedar ucapan yang dirangkai manis, bukan pula penampilan yang yang
dikesankan sederhana. Tapi tawadhu adalah mau menerima kebenaran dari
mana pun datangnya.
Sekali lagi, kebenaran
adalah kata kunci mutiara hikmah dari seorang Fudhail, 'alim yang tidak
diragukan lagi ilmunya. Bukan kebenaran yang masih dugaan atau sangkaan, masih samar,
apalagi masih berupa 'katanya' dan 'dengar-dengar'.
Hanya kebenaran murni
yang kita wajib menerimanya tanpa pandang bulu.
Jika kebenaran itu
bercampur dengan ketidakbenaran maka kita ambil yang benarnya saja, buang
jauh-jauh kesalahannya agar tidak menjangkiti kita.
Lebih aman, kita ambil
kebenaran yang murni saja. Tidak usah memberanikan diri untuk memilah-milih
antara kebenaran dan ketidakbenaran pada diri si 'penyampai'.
Saya tidak membicarakan
orangnya. Semua orang tanpa terkecuali bisa benar dan bisa salah. Yang maksum
(selalu benar) hanya Allah. Manusia tidak akan pernah luput dari
kekeliruan. Tapi yang saya sedang bicarakan ini adalah sikap tawadhu yang
sesungguhnya.
Anda masih ingat kata
kunci dari petuah tadi? Ya, kebenaran. Lantas apa itu kebenaran?
Kaum muslimin sepakat
bahwa apa yang disampaikan berdasar dan bersumber dari Alquran dan Hadits,
ditambah pemahaman para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in maka
itu lah kebenaran yang hakiki.
Si 'penyampai' tidak
hanya mengandalkan 'pendapat saya', 'menurut 'saya', 'hemat saya', dan
sebagainya. Ini bukan kebenaran yang hakiki, tetapi masih berupa kebenaran yang
diduga atau disangka.
Sekian, semoga
bermanfaat.